Rabu, 13 April 2011

HUKUM INTERNASIONAL

ANALISIS TERHADAP EKSISTENSI KEDAULATAN NEGARA DALAM PERJANJIAN INTERNASIONAL
Dalam globalisasi saat ini, benar bahwa Indonesia tidak bisa terlepas dari interaksi dengan negara-negara lain yang memiliki suatu kepentingan.Hal ini dalam rangka untuk saling memenuhi kebutuhan-kebutuhan serta kepentingan-kepentingan masing-masing untuk tetap menjaga kelangsungan kehidupan suatu negara.Hal ini sangat didukung oleh eksistensi kedaultan suatu negara.
Secara umum, kedaulatan dimaknai sebagai kekuasaan tertinggi dalam suatu negara terhadap warganegara dan masyarakatnya.Namun, makna kekuasaan tertinggi ini tetap dalam batasan undang-undang.Hal ini tetap bertolak dari konsep kedaulatan yang timbul dari fakta politik karena lahirnya suatu negara.
Berkaitan dengan interaksi antar negara, akan teraplikasi dalam bentuk kontrak internasional bila terlingkup dalam ranah hukum privat dan akan terwujud sebagai perjanjian internasional jika berada dalam ranah hukum publik.
Perjanjian internasional tunduk pada Konvensi Wina 1969 yang mengatur tentang perjanjian antar negara dan Konvensi Wina 1986 yang mengatur tentang perjanjian antar negara dan organisasi internasional.Menurut pasal 2 Konvensi Wina 1969, perjanjian internasional adalah suatu persetujuan dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional apakah dalam instrument tunggal atau lebih instrument yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan kepadanya.Namun defenisi perjanjian internasional yang lebih singkat, padat, dan lebih luas cakupannya dimuat dalam Undang-undang Nomor 24 tahun 2000.Menurut undang-undang Nomor 24 tahun 2000, perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban dalam bidang hukum publk.
Hal yang menjadi pokok pembahasan adalah bagaimana eksistensi kedaulatan negara terhadap perjanjian internasional saat ini.Hal ini ditunjukkan dengan adanya Waiver Immunity (menyampingkan kedaulatan).Dalam perjanjian internasional, Waiver Immunity (menyampingkan kedaulatan) memang tetap diakui tetapi tidak terlalu menonjol.Berbeda dalam kontrak internasional yang ranahnya memang dalam hukum privat, Waiver Immunity (menyampingkan kedaulatan) ini sangat jelas diterapkan.
Fakta-fakta hukum yang ada memang telah menunjukkan tindakan penekanan dan intimidasi terhadap yurisdiksi suatu negara.Contoh yang diajukan oleh Jeffry A. Ch. Likadja yaitu dalam perjanjian Master Settlement and Agreement ( MSAA ), yang merupakan perjanjian di bawah pengawasan International Money Foundation ( IMF ), dimana pemerintah Republik Indonesia diharuskan mengubah hukum Indonesia sesuai dengan kemauan hukum Amerika Serikat.Jadi jelaslah bentuk penindasan dan intimidasi terhadap yusdiksi Republik Indonesia, sekaligus membuktikan betapa lemah dan rapuhnya penegakan kedaulatan negara Indonesia.
Namun, hal yang harus menjadi perhatian bahwa perjanjian internasional bukan hanya sebagai alat atau sarana untuk mengintervensi negara, tapi juga digunakan untuk mengintimidasi dan menekan negara lain sehingga bisa dikendalikan sebagai “boneka” hukum.Perjanjian internasional dalam wujud yang me-waive immunity, merupakan bentuk penjajahan terhadap yurisdiksi negara yang telah disadari secara nyata namun tetap diterima secara nyata pula oleh pemerintah.Negara hidup dalam solusi-solusi keterpaksaan sebagai tindakan untuk memperlambat eliminasi negara terhadap yurisdiksi negara sehingga bisa dikendalikan secara “halus” oleh negara yang lebuh kuat.
Dari analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa negara Indonesia memiliki penegakan kedaulatan yang sangat lemah dan rapuh.Di samping itu, akan terus menjadi sasaran dan target intimidasi dan eliminasi kedaulatan sebagai negara berkembang.